Dan memang saya harus bersukur. Saya terlahir di negeri yang makmur. Tanah air, tanah tumpah darah, yang begitu subur. Hujan setiap saat datang mengguyur. Setiap lahan senantiasa rimbun bak kebun-kebun anggur. Tanah-tanah sangat gembur. Tidak hanya tumbuh lumut dan jamur. Tetapi juga bunga-bunga, buah-buah, dan sayur mayur. Dataran tinggi hingga ke pantai ditumbuhi pohon nyiur. Melambai-lambai mengajak mata tak pernah tidur. Menghibur dan terus menghibur.
Rakyat di seluruh negeri hidup dengan teratur. Senantiasa ramah ketika menegur. Para pemimpin negeri siap berbaur. Dengan rakyat di barat maupun di timur. Tak ada satupun yang menganggur. Selalu bersemangat pantang mundur. Siap kerja lembur. Menatap masa depan yang membuat hati sungguh bisa tergiur.
“Udah…!! Lanjutkan dulu urusanmu. Habiskan dulu tuh bubur…..!!“
(Maaf pembaca yang budiman, acara kita terganggu sebentar. Suara yang baru saja terekam dengan cetakan kurang tebal, bukan murni suara saya. Kalimat baris kedua memang dari saya. Namun yang baris pertama, bukan. Suara itu datang dari arah belakang. Suara salah satu sahabat saya yang saat ini sedang makan bubur. Karenanya, saya harus meminta agar ia melanjutkan aktifitasnya. Dari pada sahabat saya ini terus-menerus berkomentar saat saya sedang menyapa dan berbincang-bincang dengan Anda, lebih baik saya tenangkan dulu sahabat saya yang satu ini. Bicaranya suka ngelantur. Nggak ketulungan bila sudah mulai ngawur. Bisa-bisa bikin kacau situasi. Dan mungkin lebih baik saya mohon diri. Sebentar. Hanya sebentar. Beberapa saat lagi kita lanjutkan perbincangan….. Berikan kesempatan kepada saya menarik nafas panjang sembari menenangkan sahabat saya yang uratnya mulai menegang…)
Akhir-akhir ini saya sulit tidur. Termasuk tadi malam, Brur. Bukan akibat rumah saya terkena semburan lumpur. Tapi, karena saya tinggal di pinggiran rel sepur. Teriakan pak kondektur, di waktu sahur, terdengar keras seperti riuhnya suara guntur. Saat hujan mengguyur, saya harus berlari kesana kemari hingga seringkali jatuh tersungkur. Siang hari, baru saya mulai berjemur. Bukan di tepian pantai dengan pasir yang gembur. Tetapi, di bawah terik matahari yang sengatannya melebihi sengatan ubur-ubur.
Kalau harus saya katakan dengan jujur, tadi pagi setelah matahari muncul dari arah timur, saya terkaget-kaget ketika sedang mengambil air dari sumur. Serombongan wanita muda, menghampiri lalu mulai menegur. Bukan menawarkan sayur mayur, karena mereka bukan pedagang sayur. Mereka berkisah sambil mempromosikan sebotol jamu yang katanya beras kencur. Ungkapnya, jamu yang dibawanya sangat manjur. Selain bisa, bikin saya cepat tidur, juga bisa, bikin badan saya semakin tambah subur. Katanya, seperti para pemimpin negeri yang seringkali tidur mendengkur. Tidak hanya diatas kasur, tapi juga diatas sofa yang sangat lentur.
Cilaka dua belas, Brur. Celana kolor saya mulai kendur. Saya sempat tergiur. Karena kata-kata mereka yang terdengar polos dan jujur. Apalagi penampilan mereka brur, wuih!! Aduhai brur !! Syur, benar-benar syur!!
Tetapi brur, tiba-tiba, hati saya seakan-akan hancur lebur. Pak kondektur, berteriak keras dari atas sepur, yang melaju ke arah timur. Kereta api pagi mulai meluncur. Membangunkan bayi-bayi di sekitar saya yang sedang tidur. Kemudian, bayi-bayi menangis, merenggek, merangkak diatas tanah yang berlumpur. Rupanya, ingin ikut serta dalam permainan catur.
Dengan didampingi wanita-wanita pe…. oh, penghibur…. oh! Sorry, Brur. Terlanjur. Maksud saya penjaja jamu yang katanya beras kencur. Singkat cerita brur. Bayi-bayi pun digendong para penjaja jamu yang tadi datang menegur. Lalu disuapi sesendok bubur. Yang sedikit telah dicampur, dengan beberapa tetes jamu yang katanya beras kencur.
Kalau harus saya katakan dengan jujur. Bubur itu brur, sepertinya bukan dicampur dengan beras kencur. Tapi brur, dicampur dengan beberapa tetes anggur. Nggak percaya, Brur? Lihat, Brur ! Sahabat kita yang baru saja makan tuh bubur, sekarang sudah mulai tidur mendengkur. Dan… Sorry, Brur. Sekali lagi, sorry, Brur. Saya sedikit ngawur. Tapi itulah yang akan saya katakan dengan jujur, kalau saya boleh sedikit ikut campur.
Sekarang, saya harus berkonsentrasi ke papan catur. Ratu catur saya sekarang sudah diancam oleh pluncur. Bidak, benteng, dan kuda saya tak bisa melindungi ratu catur, karena tidak lagi bisa mundur. Ratu catur saya juga tidak lagi bisa kabur. Karena panglima catur saya sedang duduk menyingkur. Seolah-olah ratu dan panglima catur sedang tidak akur.
Tapi benar Brur !! Saat ini saya bersukur. Dan memang saya harus bersukur. Ternyata, saya masih punya pluncur yang siap tempur. Tapi, Brur. Sekali lagi tapi, Brur. Rasanya saya ingin menggebrak meja catur didepan saya ini agar buahnya semua terhambur. Bukan karena sahabat kita yang baru makan bubur, sekarang tidur saat sedang bermain catur. Bukan, Brur. Sungguh bukan karena itu, Brur. Biarkan saja ia tidur. Biarkan badannya yang kurus bisa bertambah subur. Hanya saja, saya sekarang sedang bingung, Brur. Apakah pluncur boleh makan pluncur ??? Bagaimana, Brur ???
Oh…… Brur, brur…!!! Lebih baik saya ikut-ikutan tidur. Dibawah pohon nyiur. Diatas rerumputan berlumpur dan jamur-jamur. Sambil membayangkan sedang berada di atas kasur atau sofa yang lentur. Seperti pemimpin negeri yang subur makmur. Meskipun rakyat terpaksa dan dipaksa kerja lembur.
Saya undur diri, Brur. Silahkan lanjut Brurr… Tolong jaga tuh meja catur…. Jangan sampai diambil pencuri lalu dibawa kabur….. Maaf, memaksa ikut campur….“
Sumber : Prolog Novel berjudul "Panta Rei" karya Dimar Reva Dila